Bab 1
Pendahuluan
Apa
AIDS Itu...?
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus
HIV;atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya
(SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus
(atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia.
Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik
ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui
kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah,
dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan
vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi
melaluihubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum
suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin,
ataumenyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari
Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan
telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006,
UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan
kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni
1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan
dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3
juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah
anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara,
sehingga
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber
daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan
tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih
berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya.
Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas
kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA).
Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981,
ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat
adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP
tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki
homoseksual di Los Angeles.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah
HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh.
HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit
dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal
dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytesyang
ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus
atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh
manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau
pemotongan daging.Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama
hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun
1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski
terhadapvaksin polio.Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa
skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada
BAB 2
Pembahasan Materi
Penyebab
AIDS
merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh
dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga
kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa
jumlah sel T CD4+ di
dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai
sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2
bulan. Namun demikian, laju
perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua
minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya, diantaranya ialah
kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari
orang yang terinfeksi. Orang tua
umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda,
sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang
kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal
secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV
memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan
menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi
antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu
berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks
anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral
tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan
seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya
tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan
pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV
(limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko
terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil,
oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus
kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah
RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi
HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan
kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih
dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi
darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh
organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari
semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang
digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat,
pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih
jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan
menerima rajahdan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan
2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui
suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh
opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju.
Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan.
Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman
dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi".
Penularan masa perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan
adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap
terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.Sejumlah faktor dapat
memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
Gejala dan komplikasi
Berbagai gejala AIDS
umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya
dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi
hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga
berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem
kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS
memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan
kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab
penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii.
Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dantindakan
pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan
indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten)
melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun
munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV
paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel
per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi
HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh
lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak
spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang
menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf
pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan
tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang
terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamurkandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria,Kampilobakter, dan Escherichia
coli), serta infeksi oportunistik yang
tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada
beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk
menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu
sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk
terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem
pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[14]
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi
HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas
sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari
penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma
gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak
akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati
multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten,
dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat
(progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian
dalam waktu sebulan setelah diagnosis.[16]
Kompleks
demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya
pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan
kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV
terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma
darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar
10-20%,[18] namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan tumor ganas (malignan)
Pasien
dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebabmutasi genetik;
yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma
Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae,
yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini
sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat
menyerang organ lain, terutamamulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker
getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam
kelenjar getah bening, misalnya sepertilimfoma
Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem
syaraf pusat primer, lebih sering
muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan
perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS.
Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien
yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker
payudara dan kanker usus
besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi
HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi
antiretrovirus yang sangat aktif(HAART)
dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS
menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian
yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien
AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus
sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan
gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah
tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[24]
Pencegahan
Tiga
jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan
seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan
atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus
infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya
secara umum dapat diabaikan.[59]
Hubungan seksual
Mayoritas
infeksi HIV berasal dari hubungan
seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubunganheteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia.[60] Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV
dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[61]Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk
mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya.
Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat
melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[62]
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar
minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah
ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap
di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan.
Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya
tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif
terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan
strategi pencegahan HIV yang penting.[63]
Penelitian
terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum
terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju.
Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan
kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga
mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan
transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada
bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak
negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan
dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku
masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan
HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko
sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.[66]
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV
melalui hubungan seksual.[67] Adapun rumusannya dalambahasa
Indonesia:[68]
“
|
Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. |
”
|
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung
tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu
mencegah infeksi HIV.
Semua
organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi
jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil
narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan,
dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk
tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih
disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah
kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah
melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan
dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari ibu ke anak
Penelitian
menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan
formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission, MTCT).[69] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan
mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan
tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan
pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.[5] Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama
melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[70] Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir
90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
Penanganan
Sampai
saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan
didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan
antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan,
disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP
juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[71]
Terapi antivirus
Penanganan
infeksi HIV terkini adalah terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (highly active
antiretroviral therapy, disingkat HAART).[72] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV
sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga
obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalahnucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak
daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif
untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[73] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang
dokter akan mempertimbangkan kuantitas
beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta
kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.[74]
Perawatan
HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam
darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun
menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.[75][76] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk
membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.[77] Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat
pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya
penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[78][79][80] Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi
dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4
sampai 12 tahun.[81][82] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini
karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh
manfaat dari penerapan HAART.[83] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur
untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah
kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit
kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena
adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan
lain-lain yang harus dijalankan secara rutin .[84][85][86] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan
insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan
bawaan pada bayi yang dilahirkan.[87][88]
Obat
anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia
tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS
tersebut.[89]
Penanganan eksperimental dan saran
Telah
terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik
global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan
lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak
membutuhkan perawatan harian.[89] Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan
target yang sulit bagi vaksin.[89]
Beragam
penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping
obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya
resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah
pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani
pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan
dalam berisiko terinfeksi.[90]Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga
disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasientoksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik
tersebut.[71]
Pengobatan alternatif
Berbagai
bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah
arah perkembangan penyakit.[91] Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan
syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau
nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[92] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa
tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada
perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.[93]
Beberapa
data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang
dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian
(mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang
baik.[94] Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.[94] Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV
melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan
sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,
tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas.[95]
Penyelidikan
terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit
efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan
kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari
beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting
dari pemakaiannya.[96]
Namun
oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormontiroksin.[97] Hormon tiroksin dikenal dapat
meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[98] dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
Bab 4
Kesimpulan
Marilah kita menghindari Virus HIV dengan cara bergaul
dengan benar dan menjaga kesehatan..... Marialah kita mencari jalan menuju
kebenaran dengan cara yang benar pula...
No comments:
Post a Comment